Selasa, 30 Agustus 2022

BAB 2: NIAT BAIK


BAB 2

NIAT BAIK


Ada sebuah kisah menarik. Kisah ini berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah (hadits no. 2145).


Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu berkisah: "Suatu hari Bilal datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan membawa kurma Barni (jenis kurma bermutu bagus). Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bertanya kepadanya:


"Dari mana kurma ini?"


"Kami memiliki kurma yang jelek, lalu kami jual dua sha' kurma tersebut dengan satu sha' kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam” jawab Bilal.


Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pun langsung merespon, “Aduh, aduh, itulah riba! Itulah riba! Jangan engkau lakukan. Tapi jika engkau mau membeli, maka jualah kurma dengan barang lain, lalu belilah dengan hasil (penjulannya) itu.”


*****


Tentunya, banyak pelajaran berharga dari hadits ini. Namun, saya ingin fokuskan pada sebuah pelajaran penting sebagai bekal dalam beramal di dunia ini. Pelajarannya adalah:


“Niat baik tidak otomatis menjadikan sebuah amalah itu baik di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

Nah, ini dia pelajarannya!


Coba kita perhatikan. Bilal radhiyallahu ‘anhu telah berniat baik. Dia ingin membahagiakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Namun, caranya salah. Akhirnya, apa yang terjadi? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menolaknya. Beliau tidak meridhainya.


Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa sebuah amal ibadah baru bisa diterima dan bernilai pahala jika terpenuhi dua syarat:


  • Pertama, niatnya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.


  • Kedua, caranya benar sesuai tuntunan syari’at.


Jadi, beramal itu tidak bisa sembarangan. Tidak cukup hanya bermodal perasaan. Tidak bisa kita hanya beralasan: “Niat saya kan baik….! Menurut saya ini baik…!”


Apalagi jika berkaitan dengan ibadah. Tidak boleh kita berkreasi dalam hal ibadah. Kita harus mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para Sahabatnya. Tidak boleh kita membuat cara tersendiri dalam beribadah. Meskipun menurut perasaan kita itu baik.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

(QS. Al Mulk [67]: 2)


Fudhail bin Iyadh rahimahullah (guru Imam Syafi’i rahimahullah) pernah menjelaskan makna “yang lebih baik amalnya”. Kata beliau: “Maknanya adalah “yang paling ikhlas” dan “paling benar”.


“Sesungguhnya”, kata beliau, “jika amalan itu dikerjakan ikhlas tapi tidak benar caranya, maka tidak diterima. Jika benar, namun tidak ikhlas, maka tidak diterima juga. Hingga amalan itu ikhlas dan benar (baru diterima)”.


Kata beliau lagi, “Amalan ikhlas adalah amalan yang dikerjakan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan amalan yang benar adalah yang sesuai sunnah (petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam)”.


Nah, jadi demikian.


*****


Sekarang, yang jadi pertanyaan adalah: Bagaimana kita tahu kalau amalan kita sudah benar (sesuai syari’at)?


Ya, kita harus belajar! Kita harus duduk di majelis-majelis ilmu. Kita harus hadir di pengajian. Kita harus banyak membaca dan mengkaji. Supaya nantinya kita jadi tahu, mana amalan yang boleh dan mana yang tidak boleh. Mana amalan yang sesuai syari’at dan mana amalan yang melanggar syari’at.


Jangan sampai kita sudah capek-capek beramal saat di dunia, kita sudah lelah-letih beribadah, namun ternyata nanti ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat. Bahkan malah mendapatkan azab. Na’udzu billah.


Saya jadi teringat dengan kisah Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah (salah seorang Tabi’in). Suatu hari, dia melihat orang melakukan shalat tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Saat dinasihati, orang itu menjawab:


“Apakah aku akan diazab karena mengerjakan shalat?”


Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pun menjawab:


“Tidak! Tapi engkau akan diazab karena menyelisihi sunnah!”


Benarlah apa yang beliau katakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.

(QS. An-Nur [24]: 63)


Semoga penjelasan ini bermanfaat.


Semangat belajar!


1 komentar: